Jumat, 02 Oktober 2009

Gempa Tak Kunjung Sudah

Patahan bumi di Mentawai menyimpan energi besar. Tak selesai dalam satu hentakan.
Jum'at, 2 Oktober 2009, 19:20 WIB
Edy Haryadi

Gempa di Kota Padang : Anak-anak (AP Photo/Achmad Ibrahim)
Kepanikan Warga Saat Gempa


TINGGAL seperempat jam lagi kelas itu usai. Sejumlah remaja tanggung masih takzim menyimak pelajaran di gedung bimbingan belajar itu. Langit menjelang senja di Padang, pada Rabu, 30 Oktober 2009.

Tiba-tiba bumi bergetar. Guncangan kian keras. Gedung tiga lantai itu berayun makin kencang. Detik selanjutnya: dinding terbelah. Lantainya pecah. Dalam sekejap, bangunan beton itu ambruk. Jam menunjuk pukul 17.16.

Setelah gempa itu usai, sejumlah orang bergegas membantu korban. Tak terdengar ada suara dari celah reruntuhan itu. Puluhan pelajar telah terkubur. Tak jelas apakah mereka bertahan hidup atau tidak.

Seorang ayah meratap setelah menatap onggokan puing-puing bekas gedung bimbingan belajar itu.  Samsir termangu. Putrinya, Audita, terperangkap di gundukan puing. “Saya pasrah,” ujar Samsir, ayah Audita.

Putrinya baru kelas dua SMP, dan belajar di tempat naas itu. Ketika bantuan alat-alat berat penyingkir puing datang, dia hanya berharap Audita bisa selamat.

***

Gempa 7,6 Skala Richter melantak Padang dan Pariaman, meratakan sedikitnya 2.500 rumah, 4 rumah sakit, puluhan gedung, dan sejumlah hotel. Lebih separuh perkantoran rusak berat. Bila tak ambles, pasti retak. Pusat gempa berada di arah 57 kilometer barat daya Pariaman, Sumatera Barat. Kedalamannya 71 Km.

Korban jiwa terus bertambah. Sampai Jumat malam, pemerintah setempat menaksir 777 tewas. Versi lain menyebut angka lebih besar. "Yang tewas mencapai 1.100 orang,” kata Ketua Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Urusan Kemanusiaan, John Holmes, di Padang, Sumatera Barat.  Korban luka parah ditaksir sekitar 440 orang.

Tentu, angka akhir bisa bertambah. Soalnya, sampai Jumat malam, para korban tertimbun runtuhan gedung masih coba diselamatkan. Mereka tersebar di sejumlah titik. Sebagian di wilayah Marapalam, Padang. Ada yang terperangkap di reruntuhan Adira Finance Sawahan, dan ruko sekitarnya.

Sejumlah pelajar tadi, misalnya, terbenam di reruntuhan Gedung Bimbingan Belajar Gama. Ada juga korban terperangkap ruko di Simpang Haru. Sejumlah korban tertindih di bawah puing-puing mesjid Nurul Imam Padang, Apotik Sari depan Nurul Imam, BII Sudirman, dan PT AGD di Bypass Padang.

Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Bencana melansir 220 orang dilaporkan tewas. Rinciannya, 144 orang meninggal di Kota Padang. Lalu, 62 korban tewas di Kabupaten Padang Pariaman, dan terakhir ada 14 korban meninggal di Kota Pariaman
***

Gempa besar di dekat Padang Pariaman, Sumatera Barat itu adalah kesekian kali terjadi dalam satu bulan. Guncangan bumi itu sesungguhnya dialami di sejumlah wilayah Indonesia, dengan kekuatan bervariasi.

Selama September 2009, misalnya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat lebih dari 30 kali gempa terjadi di atas 5 Skala Richter (SR).
Kekuatan terbesar di antaranya mengguncang Tasikmalaya (7,3 SR), Yogyakarta (6,8 SR), Tolitoli (6,0 SR), Nusa Dua (6,4 SR), Ternate (6,4 SR) dan Padang Pariaman (7,6 SR).

Kerapnya goyangan gempa belakangan ini, menurut Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, akibat penunjaman lempeng tektonik Samudera Hindia di bawah lempeng Asia di Pantai Barat Sumatera. “Ini dinamika lapisan bumi”, ujar Kepala Badan Geologi di departemen itu, R. Sukhyar.

Di wilayah Pariaman, penunjaman lempeng itu tampaknya melepaskan energi besar. “Hampir 30 kali lipat gempa di Yogyakarta,” ujar Kepala Pusat Vulkonologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Surono membandingkan gempa di Yogyakarta tiga tahun silam.

Setelah Aceh digetarkan gempa 9,1 Skala Richter, dan membangkitkan ombak gergasi tsunami, kawasan pantai barat Pulau Sumatera itu dinyatakan rawan gesekan lempengan bumi.

Tapi, kata Surono, meskipun sering dilanda gempa, bencana alam itu tak bisa diramal kedatangannya. "Alam tidak bisa seperti itu, sulit diprediksi," kata dia. Gempa di Sumatera, Surono melanjutkan, sama dengan Gempa Garut. Guncangan terjadi akibat bergesernya lempeng Indo-Australia dan Eurasia, bukan karena aktifnya cincin api.

Terletak pada pertemuan tiga lempeng utama dunia, Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik, Indonesia ditakdirkan hidup dengan ancaman gempa. Di lapisan bumi, lempeng itu saling bergerak, dan bertumbukan.

Jejak gempa pun bisa ditelisik dari jalur pertemuan antar lempeng. Misalnya, lempeng Eurasia dan Indo-Australia, bertumbukan di lepas pantai barat Pulau Sumatera. Lalu di lepas pantai selatan pulau Jawa, lepas pantai selatan kepulauan Nusatenggara, dan berbelok ke arah utara ke perairan Maluku sebelah selatan.

Antara lempeng Indo-Australia dan Pasifik terjadi tumbukan di sekitar pulau Papua. Sementara pertemuan antara ketiga lempeng itu terjadi di sekitar Sulawesi. Itu sebabnya, pulau-pulau di sekitar pertemuan tiga lempeng itu kerap diterjang gempa.

Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Lempeng Eurasia bergerak sangat lambat ke arah tenggara. Kecepatannya 0,4 sentimeter per tahun. Lempeng samudera Indo-Australia bergerak ke utara. Kecepatannya tujuh sentimeter per tahun. Lempeng tercepat adalah Samudera Pasifik. Dia bergerak 11 cm per tahun ke arah barat.

***

Pergerakan bumi itu memang tak kasat mata.  Tapi, satu metode disebut koral mikroatol, tampaknya bisa merekam turun naiknya permukaan bumi akibat pergerakan lempeng tadi. Mikroatol tadi, secara alamiah, meninggalkan bekas ketinggian air laut pada sedimennya.

Pulau Sumatera beruntung punya banyak mikroatol di sepanjang pantainya.  “Ini penting untuk meneliti sejarah gempa,” ujar  Dr Danny Hilman Natawidjaya, Ahli paleotsunami Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Dari penelitian koral mikroatol, kata Danny,  bisa direkonstruksi siklus gempa besar di Mentawai sejak 100 tahun lalu. Menurut rekonstruksi siklus itu, periode ulangnya sekitar 200 tahunan 

Berdasarkan riset itulah, dia mengingatkan adanya potensi guncangan lebih besar dari gempa di Padang Pariaman, Sumatera Barat (lihat wawancara).  "Kekuatannya kira-kira 8,8 SR,” ujarnya.  Gawatnya, energi yang tersimpan 30 kali lebih besar dari gempa Padang.

Pusat gempa itu, kata Danny, diperkirakan di segmen Mentawai, Sumatera Barat. Catatan lain, Gempa Padang tidak mengurangi potensi pelepasan energi di segmen Mentawai. Peristiwa itu justru memicu pelepasan energi lebih cepat.

Watak gempa di Sumatera, Danny melanjutkan, sudah diketahui. Apalagi Tim Peneliti gempa dari LabEarth LIPI dan Tim Prof. Kerry Sieh dari Earth Observatory of Singapore, NTU sudah meneliti sumber-sumber gempa di Sumatera sejak 1990.

Dalam catatan mereka, periode gempa besar terakhir terjadi tahun 1797, dan 1833. Menariknya, kata dia, pelepasan akumulasi tektonik di akhir siklus gempa itu hampir selalu berupa kejadian gempa besar lebih dari satu kali.

Nah, sejak gempa besar kembar tahun 1797 dan 1833 itu, status “zona subduksi” (atau biasa disebut juga sebagai “megathrust”) dari segmen Mentawai sudah berada di siklus akhir.

Para ahli menyimpulkan gempa pada September 2007 adalah awal periode pelepasan tekanan tektonik.  Itu pun tak tuntas. “Gempa 2007 hanya melepaskan sepertiga energi tekanan tektonik yang terakumulasi di Mentawai," kata Danny.

Artinya, masih ada dua pertiga energi lagi yang tersimpan.  Jika sisa energi ini meletup sekaligus, Padang dan sekitarnya terancam gempa berkekuatan sampai 8,8 SR.
Tentu, ini bukan kabar gembira.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites